MANGROVE di Indonesia telah lama dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, baik pada skala industri maupun pemanfaatan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove. “Revolusi biru” untuk ekpansi pertambakan telah menyebabkan perombakan mangrove seluas 123.000 Ha di 14 provinsi secara legal selang periode 1982-2002 dan diikuti oleh perombakan-perombakan dengan skema yang lain.
Saat ini, luasan total hutan mangrove di Indonesia menurut data Direktorat Konservasi Tanah dan Air, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yakni 3,31 juta Ha. Dari total luasan mangrove tersebut, sebesar 637.624, 31 Ha dalam keadaan kritis dan sebesar 2.673.583,14 Ha dalam keadaan tidak kritis.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan skala prioritas nasional untuk pengelolaan mangrove berkelanjutan dan pemenuhan komitmen iklim nasional. Konservasi mangrove dilakukan dengan tujuan melindungi keragaman spesies, keseimbangan ekosistem, serta layanan ekosistem. Tentu saja, melindungi mangrove alami akan lebih efisien, murah, dan memiliki capaian secara ekologis yang lebih baik dibandingkan rehabilitasi habitat yang terdegradasi.
Upaya mewujudkan pengelolaan yang efektif harus memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi suatu ekosistem mangrove, gangguan dan dinamika yang terjadi, aktivitas manusia dan faktor alami yang dapat menyebabkan fragmentasi habitat. Perubahan iklim yang menyebabkan naiknya muka laut juga akan berdampak signifikan terhadap ekosistem mangrove sehingga penilaian terhadap kerentanan ekosistem mangrove terhadap fenomena tersebut penting untuk dinilai.
Studi menunjukan bahwa penilaian perubahan habitat mampu mengungkap arah perubahan suatu ekosistem mangrove. Oleh karena itu, pendekatan berbasis habitat (a habitat-based approach) perlu dipertimbangkan agar intervensi pengelolaan secara tepat dan efisien dapat dilakukan.
Rehabilitasi mangrove di Indonesia pada umumnya menggunakan metode penanaman, dan banyak yang mengalami kegagalan. Pemahaman yang sangat keliru bahwa rehabilitasi mangrove dapat dengan mudah dilakukan melalui penanaman kembali, tanpa memperhatikan aspek keragaman, fungsi ekologis, dan resiliensi.
Ketika tujuan restorasi mangrove adalah untuk mengembalikan keanekaragaman species dan fungsi ekologis maka penanaman dengan satu atau dua spesies sebaiknya dihindari. Studi membuktikan bahwa restorasi menggunakan multi-spesies menghasilkan struktur dan keanekaragaman mendekati mangrove alami.
Metode regenerasi alami melalui restorasi hidrologi yang dipraktekan di Tiwoho dapat diadopsi untuk merestorasi lahan mangrove yang telah mengalami gangguan hidrologi. Dalam kurun waktu 12 tahun pasca restorasi hidrologi dilakukan hampir keseluruhan lahan telah ditutupi oleh vegetasi mangrove, dan komposisi spesies mangrove alami yang berhasil tumbuh memiliki kemiripan dengan spesies mangrove alami yang ada di sekitar lokasi restorasi.

Banyak cara untuk memanfaatkan mangrove secara berkelanjutan. Saat ini eko-wisata mangrove menjadi tren di berbagai tempat seperti Hutan Mangrove Anyar di Surabaya, Eko-wisata Mangrove Mengkapan, Wisata Hutan Mangrove Kota Langsa, dan lain-lain. Bahan makanan berbahan baku mangrove juga sudah dijumpai di pasaran seperti sirup buah mangrove Sonneratia caseolaris, gula, cuka dan alkohol dari sadapan nirah N. frutican. Pohon mangrove S. alba, S. caseolaris dan N. fruticans memiliki cairan madu dan bee pollen sehingga madu dan beberapa produk turunan seperti bee pollen, royal jelly, bee wax, dan propolis dapat dihasilkan. Riset terbaru, biofuel etanol dapat dihasilkan dari buah mangrove R. mucronata.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa potensi keanekaragaman floristik dan strategi konservasi mangrove harus dikembangkan. Kedua isu tersebut harus diintegrasikan secara tepat dalam upaya menilai kondisi suatu ekosistem mangrove, merancang strategi rehabilitasi/restorasi (R/R) dan konservasi berkelanjutan di Indonesia.***
Penulis: Prof. Dr. Ir. Rignolda Djamaluddin, M.Si. adalah Guru Besar dalam bidang Biologi Konservasi Mangrove di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi.
Prof. Dr. Ir. Rignolda Djamaluddin, M.Si. adalah doktor dari University of Queenslan, Australia.
–