Oleh Dr. Fabian J. Manoppo, AI Data Analyst
Pendahuluan
Pendidikan, dalam narasi klasik pembangunan, selalu dipandang sebagai alat mobilitas sosial dan investasi jangka panjang. Namun, realitas kontemporer menunjukkan paradoks: semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin eksklusif pula akses terhadapnya.
Dalam konteks ini, pemikiran Noam Chomsky menyodorkan kritik tajam: “Biaya kuliah yang tinggi bukan investasi, melainkan pagar pertama untuk memisahkan si kaya dan si miskin dari akses pengetahuan”.
Pernyataan ini relevan untuk dianalisis dalam konteks Indonesia dan sistem pendidikan kapitalistik secara global.
Apakah biaya kuliah yang tinggi menjadi alat eksklusi kelas dalam masyarakat? Bagaimana dampaknya terhadap keadilan sosial dan mobilitas antar generasi? Apa pendekatan alternatif untuk menjamin akses pendidikan yang merata?
Pendidikan Tinggi dan Kapitalisme Neoliberal
Di banyak negara, termasuk Indonesia, perguruan tinggi semakin menjalankan fungsi korporatisasi. Biaya pendidikan meningkat seiring otonomi kampus, komersialisasi riset, dan kompetisi global. Dalam kerangka ini maka mahasiswa bukan lagi subjek pembelajar, melainkan konsumen pendidikan; dan kampus bukan pusat ilmu, tetapi institusi ekonomi dengan target pemasukan.
Akses Terbatas, Ketimpangan Terwariskan
Studi BPS dan World Bank menunjukkan bahwa: Anak dari keluarga 20% terkaya memiliki kemungkinan 3–5 kali lebih besar untuk mengakses perguruan tinggi dibanding keluarga 20% termiskin.
Mahalnya biaya kuliah dan hidup di kota besar menciptakan pagar finansial yang sulit ditembus oleh kalangan miskin.
Pendidikan sebagai Alat Reproduksi Kelas
Melalui logika Pierre Bourdieu, habitus kelas menengah dan atas direproduksi melalui pendidikan tinggi. Biaya mahal, seleksi berbasis prestasi semu, dan ketersediaan fasilitas privat memperkuat dominasi kelas sosial tertentu. Ilmu pun bukan lagi hak universal, tapi komoditas terbatas.
Alternatif: Pendidikan Tinggi sebagai Hak, Bukan Komoditas
Skema pendidikan berbasis pajak progresif dan pembiayaan publik; Model hybrid: biaya terjangkau + subsidi silang dari riset dan industri; dan Perluasan pendidikan terbuka digital (MOOCs) dan kampus rakyat berbasis komunitas.
Kesimpulan
Pernyataan Chomsky menegaskan bahwa biaya kuliah tinggi bukan sekadar soal ekonomi, melainkan alat politik yang memperkuat ketimpangan struktural. Tanpa reformasi sistemik dalam pembiayaan dan orientasi pendidikan, universitas hanya akan menjadi benteng elite—bukan mercusuar pengetahuan untuk semua.***