Rektor Universitas Sam Ratulangi Oktovian Berty Alexander Sompie mengukuhkan 21 Guru Besar pada Kamis, 16 Januari 2025 lalu. Salah satunya adalah Rignolda Djamaluddin. Berikut orasi ilmiahnya:
MANGROVE merupakan ekosistem tropis dan sub-tropis yang unik. Ekosistem ini mendukung produksi sekunder sumber daya perikanan, menyediakan kayu bakar, bahan untuk konstruksi rumah dan alat tangkap, melindungi garis pantai dari erosi, bioremediasi dan membantu mitigasi perubahan iklim melalui penyimpanan karbon.
Meskipun penting secara ekonomi dan ekologis, mangrove mengalami degradasi dan deforestasi secara signifikan. Sekitar 33% mangrove di Indonesia telah hilang selama beberapa dekade belakangan.
Seiring meningkatnya kesadaran terkait kerugian akibat kehilangan mangrove, upaya konservasi dan restorasi lahan mangrove yang mengalami degradasi semakin meningkat. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk merestorasi seluas 600.000 ha lahan mangroves hingga 2024 untuk mendukung mitigasi perubahan iklim, melindungi garis pantai dan mengembalikan layanan ekosistem yang dapat diberikan oleh mangrove. Namun demikian, banyak aktivitas restorasi yang mengalami kegagalan disebabkan karena pemilihan spesies yang keliru, abrasi pasang-surut, hama dan penyakit.

Ada dua isu penting terkait kondisi sumber daya mangrove di Indonesia saat ini yang perlu mendapat perhatian serius, yakni: ancaman terhadap keanekaragaman floristik dan konservasi mangrove secara berkelanjutan. Kedua isu tersebut harus diintegrasikan secara tepat dalam upaya menilai kondisi suatu ekosistem mangrove, merancang strategi rehabilitasi/restorasi (R/R) dan konservasi berkelanjutan di Indonesia.
Jumlah spesies mangrove di Indonesia diperkirakan sekurang-kurangnya ada 48 spesies. Catatan lain melaporkan sebanyak 56 spesies mangrove di Indonesia temasuk hibrida putatif. Dengan jumlah spesies tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang mengoleksi spesies mangrove terbanyak di Asia Tenggara atau bahkan di wilayah Indo West Pacific (IWP).
Spesies mangrove yang umum ditemukan atau bisa dikatakan penyusun utama komunitas mangrove di Indonesia, yakni: Rhizophora spp., Bruguiera spp., Ceriops spp. Sonneratia spp., Lumnitzera spp., Kandelia candel, dan Nypa fruticans. Sedangkan spesies mangrove minor yang penting termasuk Excoecaria agallocha., Aegialitis sp., Achrostichum sp., Schyphiphora sp., Phempis sp., Osbornia sp., Pelliciera sp., dan Camptostemon sp.
Dalam wilayah IWP, beberapa species dengan sebaran terbatas seperti Aegialitis annulata, Aegiceras floridum, Aglaia cucullata, Bruguiera exaristata, Camptostemon philippinense, Camptostemon schultzii, Ceriops australis, Ceriops pseudodecandra, Osbornia octodonta, Phoenix paludosa ditemukan di Indonesia.
Hal lain yang sangat menarik bahwa terdapat satu wilayah di Indonesia di mana keanekaragaman spesies mangrove dapat mencapai tingkat tertinggi, yaitu di pantai Timur Kalimantan dan pantai Timur Sulawesi yang dipisahkan oleh Selat Makassar. Jumlah spesies di wilayah ini diperkirakan lebih dari 48 spesies.
Hambatan aliran gen antar populasi dapat terjadi karena faktor perubahan tinggi muka laut, tertutupnya jalur aliran air laut, dan perubahan pola arus. Belakangan, faktor antropogenik seperti penebangan, polusi, perubahan pemanfaatan lahan, dan hidrologi mempengaruhi distribusi mangrove.
Batas sebaran biogeografi spesies mangrove di Indonesia dapat berlaku sangat spesifik. Suatu spesies yang dilaporkan hadir di Sulawesi sebagai contoh, bisa saja hanya ditemukan di suatu tempat tertentu di pulau tersebut. Sebagai contoh, C. philippinense sebarannya hanya di sepanjang pesisir pantai sebelah Barat Sulawesi hingga sebuah pulau kecil Mantehage di Sulawesi Utara. Contoh lain, O. octodonta dan A. floridum sebaran mereka hanya terbatas di wilayah pantai timur Sulawesi yang berhadapan dengan Laut Maluku.

Laju degradasi dan deforestasi mangrove yang berlangsung cepat di Indonesia dapat dipastikan berdampak terhadap keanekaragaman spesies mangrove. Bagi spesies-spesies tertentu yang mendiami suatu habitat yang spesifik, sempit dan terisolasi, gangguan pada habitat dan eksploitasi langsung dapat menyebabkan hilangnya spesies tersebut. Pengungkapan perubahan kehadiran spesies di masa lampau dapat juga dilakukan melalui identifikasi pollen dan spora dalam sedimen mangrove.
Banyak studi terkait mangrove di Indonesia belum menggunakan prosedur taksonomi yang tepat. Penggunaan metode taksonomi berdasarkan ciri morfologi dapat mudah dilakukan pada suatu spesies tertentu tetapi kurang tepat untuk marga Rhizophora yang mengalami hibridisasi alami. Pendekatan molekular dapat menjawab kendala terkait kepastian taksonomi mangrove dan aliran gen antar spesies.***
Penulis: Prof. Dr. Ir. Rignolda Djamaluddin, M.Si. adalah Guru Besar dalam bidang Biologi Konservasi Mangrove di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi.
Tulisan ini telah diedit.
–