Manado, Merdeka17.id – Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Irjen Kemendiktisainstek) Dr. Chatarina Muliana, S.H., S.E., M.H. mengatakan bahwa ada 1.133 kasus kekerasan seksual di kampus perguruan tinggi pada tahun 2024.
Data ini mengacu dari laporan Komnas Perempuan. Selain itu, tingkat kekerasan yang sering terjadi di perguruan tinggi, antara lain kekerasan seksual (77%) terjadi di kampus, 5 kasus kekerasan seksual yang melibatkan akademisi termasuk guru besar.

Hal ini diungkapkan Irjen Chatarina Muliana saat melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT) dihadapan ribuan mahasiswa baru dari 11 fakultas se-Unsrat di Auditorium Unsrat pada Kamis, 14 Agustus 2025.
Kegiatan yang dikemas dalam Sidang Senat Terbuka Penerimaan dan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) Unsrat tahun 2025, Irjen Chatarina Muliana didampingi oleh Rektor Unsrat Prof. Dr. Ir. Oktovian Berty Alexander Sompie, M.Eng., IPU, ASEAN Eng., dan moderator Dr. Ir. Josephine L. Pinky Saerang, M.P.– Ketua Tim Satgas PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) Unsrat.
Dijelaskan oleh Irjen Chatarina Muliana bahwa Permendikbudristek Nomor 55 tahun 2024 ini merupakan penyempurnaan dari Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasaan Seksual.
Sebagaimana Pasal 9 hingga Pasal 14 Permendikbudristek Nomor 55 tahun 2024, mencakup 6 bentuk kekerasan, yakni: kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, dan kebijakan yang mengandung kekerasan.
Dikatakan, kasus kekerasan di kampus sama dengan fenomena “gunung es” di mana kasus yang dilaporkan adalah kurang dari jumlah kasus yang sebenarnya. “Yang tampak hanya sedikit, sementara yang tak diketahui jauh lebih banyak,” kata Irjen Chatarina Muliana.

Beberapa hal yang menyebabkan korban tidak melapor, yakni: (1) tidak percaya kepada pihak kampus; (2) tidak ada kanal pelaporan; (3) tidak ada Unit Khusus di Kampus yang menangani; dan (4) aturan/regulasi kampus tidak mengatur khusus mengenai kekerasan seksual/tidak tahu ada aturan.
“Pengabaian terhadap kasus kekerasan adalah sama dengan pelaku tindak pidana (melakukan pembiaran),” tegas Irjen Chatarina Muliana.***
Penulis: Ladylove Ngadiman
Editor: Iwan Ngadiman