SUATU ketika, saya mengantar isteri berkegiatan Kuliah Kerja Lapangan dan Pengembangan Pada Masyarakat di Desa Molompar, Kecamatan Tombatu Timur, Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara pada Rabu, 20 Maret 2024.
Kegiatan mereka didua tempat yang saling berdekatan. Salah satunya tepat di depan SMK Nasional Molompar. Ada beberapa ruang di situ namun yang digunakan oleh isteri dan tim hanya satu saja. Sekilas kutengok, para pesertanya adalah anak-anak berseragam sekolah.
Sambil menunggu, saya duduk-duduk di regel depan kelas, mengamati-amati sekeliling. Di sebelah kiri, tampak plang papan nama sekolah yang mulai mengelupas catnya. Di sebelah kanan, dari kejauhan tampak atap seng bangunan sekolah melambai-lambai seakan berteriak minta tolong diganti.
Suasana siang itu sebenarnya sepi dari kegiatan belajar tapi selalu dibuat gaduh dengan berisiknya suara seng tadi manakala ditiup angin. Saya membayangkan, apakah suara berisik tiada henti itu tidak menggangu anak-anak dan guru termasuk masyarakat sekitar? Berjarak 20 meter pun, saya merasa sangat terusik.
Diiring rasa penasaran, saya bertanya ke seorang bapak yang duduk tidak jauh dariku, apakah boleh saya masuk untuk melihat-lihat keadaan sekolah tersebut? Ada jawaban tapi ragu-ragu. Merasa ada kesempatan, saya pun beranjak masuk ke area sekolah. Tak lupa kuajak bapak tersebut untuk menemaniku.
Pandanganku menyapu bersih setiap sudut ruang bangunan di sekolah tersebut. Sepi. Tidak ada KBM. Hanya ada 2 orang yang duduk saling berhadapan di meja piket. Jika dilihat dari pakaiannya, saya tahu yang seorang itu adalah murid. Sementara itu, si Bapak mengekor di belakangku. Kedua orang tersebut tampak sigap menyambut kedatangan kami. Saya tidak tahu, siapa yang mereka sigapi. Apakah saya, ataukah si Bapak?
Kuutarakan maksud kepada seorang yang lain itu. Beliau mengaku kalau dia adalah guru di sekolah itu. Saya pun minta agar dia menemaniku masuk ke beberapa ruang kelas yang plafonnya bolong. Beberapa jepretan kamera HP kulayangkan. Ada juga kelas yang terkunci dan saya hanya bisa mengabadikan bolongnya dari balik jendela.
Si Bapak membuntutiku terus. Beberapa kali kupergoki anggota tubuhnya membuat gerakan tertentu seakan memberi isyarat ketika saya bertanya-tanya. Kuperhatikan, Bapak itu juga tahu persis semua sisi lorong dan ruang kelas yang bolong walaupun tanpa kuminta.
Saya pun diantar ke sebuah lorong. Ada satu dua titik, yang ketika kutatap ke atas, pandanganku tembus hingga langit. Kegiatanku yang mengamat-amati, baru berhenti ketika tidak ada lagi yang tersisa yang belum kufoto.
Menjelang kepergian tim Unsrat–isteriku dosen– meninggalkan sekolah itu, saya pun sempat bertegur sapa dengan kepala sekolahnya SMK Nasional Molompar, yakni Ibu Serli Mirtha Repi, S.Pd.
Baginya, tentulah saya ini seorang asing. Bukan tidak mungkin jika dikiranya saya ini sopir yang banyak tanya makanya tidak perlu dijawab. Tidak ada jawaban pas yang kudapatkan. Semuanya dengan gelengan kepala. Waktuku mepet.
Akhirnya, rombongan sudah harus bergerak pergi, saya pun mengakhiri pembicaraan tanpa mendapatkan informasi berarti. Belakangan baru saya tahu kalau si Bapak tadi adalah suami dari kepala sekolah SMK Nasional Molompar tadi.
Dalam hatiku, nda pa pa …. Biarlah foto bicara.
Beberapa hari lalu, dari ujung ke ujung Tanah Air, memperingati Hari Pendidikan Nasional yang bertemakan “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar”. Di Jakarta, peringatan ini dipimpin langsung oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim dalam suasana upacara terasa khidmat dan syahdu.
Dua bulan berlalu. Kupikir-pikir, kepada siapa lagi informasi ini harus kusampaikan? Kepada Pemda, tampaknya, nihil. Siapa tahu saja Pak Menteri Nadiem, atau paling tidak Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat, Sekretariat Jenderal, Kemdikbudristek bisa mencarikan solusi atas berita ini?
(Iwan Ngadiman)